Dunia investasi global sedang menyaksikan fenomena yang cukup kontras dan membingungkan bagi sebagian pelaku pasar. Di saat aset konvensional seperti emas dan perak mencatatkan reli harga yang luar biasa dalam beberapa pekan terakhir, aset digital andalan dunia, Bitcoin, justru terlihat "kehabisan bensin" dan bergerak stagnan.
Perbedaan pergerakan harga yang sangat mencolok ini bukan sekadar kebetulan pasar, melainkan cerminan dari meningkatnya kekhawatiran investor institusional maupun ritel terhadap kondisi makroekonomi Amerika Serikat. Sorotan utama tertuju pada potensi policy error atau kesalahan kebijakan dari bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (The Fed), yang kini berada di persimpangan jalan menjelang pengumuman keputusan suku bunga vital pada 10 Desember mendatang.
Para investor kini bertanya-tanya, apakah narasi Bitcoin sebagai "Emas Digital" mulai pudar, ataukah ini hanyalah fase konsolidasi sementara sebelum ledakan harga berikutnya? Artikel ini akan mengupas tuntas dinamika tersebut.
Divergensi Aset: Logam Mulia Melesat, Kripto Terhambat
Berdasarkan data terbaru yang dihimpun dari TradingEconomics, pasar komoditas logam mulia sedang dalam performa terbaiknya. Perak, yang sering disebut sebagai "adik" dari emas, mencatatkan kenaikan yang fantastis hingga 86% sepanjang tahun berjalan (year-to-date). Emas pun tidak mau kalah dengan kenaikan impresif sebesar 60%. Angka ini menunjukkan betapa kuatnya arus modal yang masuk ke aset-aset fisik ini.
Sebaliknya, nasib berbeda dialami oleh Bitcoin. Merujuk pada data Yahoo Finance, Bitcoin justru tercatat berada di wilayah negatif dengan penurunan sekitar 1,5% dalam periode perbandingan yang sama. Situasi ini menciptakan tanda tanya besar, mengingat biasanya Bitcoin memiliki korelasi yang cukup erat dengan aset berisiko atau bahkan aset lindung nilai dalam kondisi tertentu.
Data dari CompaniesMarketCap semakin mempertegas dominasi logam mulia saat ini. Emas kokoh menempati posisi pertama sebagai aset global terbesar berdasarkan kapitalisasi pasar, dan perak berhasil merangsek naik ke posisi keenam. Sementara itu, Bitcoin harus puas tertahan di urutan kedelapan, berjuang untuk mempertahankan posisinya di sepuluh besar aset global.
Hantu Inflasi dan Ancaman "Policy Error" The Fed
Mengapa investor berbondong-bondong lari ke emas dan perak serta meninggalkan Bitcoin untuk sementara waktu? Jawabannya terletak pada ketakutan terhadap inflasi yang membandel di Amerika Serikat. Ryan McMillin, Chief Investment Officer di Merkle Tree Capital, sebagaimana dikutip dari laporan Decrypt, memberikan pandangan yang tajam mengenai situasi ini.
Menurut McMillin, investor saat ini sedang melakukan rotasi portofolio secara masif. Mereka mengalihkan dana dari aset yang dianggap berisiko tinggi menuju aset lindung nilai tradisional (safe haven) seperti emas dan perak. Pemicu utamanya adalah kekhawatiran terhadap monetary debasement atau penurunan nilai mata uang, ketidakpastian kondisi makroekonomi global, serta risiko nyata bahwa The Fed mungkin akan memangkas suku bunga terlalu cepat.
Risiko terbesar yang menghantui pasar saat ini adalah potensi inflasi yang tetap tinggi dan sulit turun (sticky inflation). Indikator ekonomi utama seperti Core Personal Consumption Expenditures (PCE)—yang menjadi acuan favorit The Fed untuk mengukur inflasi—terlihat kembali merangkak naik menuju area 3% per tahun. Kenaikan ini didorong secara signifikan oleh meningkatnya biaya sektor jasa dan perumahan yang belum menunjukkan tanda-tanda pendinginan.
Kondisi ini menciptakan dilema bagi The Fed. Jika mereka memangkas suku bunga sebelum inflasi benar-benar terkendali di target 2%, hal itu bisa memicu lonjakan inflasi gelombang kedua. Inilah yang disebut pasar sebagai policy error. Kesalahan langkah ini akan sangat fatal bagi ekonomi, dan ketakutan inilah yang membuat investor lebih nyaman memegang emas batangan daripada kode digital Bitcoin saat ini.
Perbedaan Fase Siklus Pasar: Saham vs Bitcoin
Divergensi yang terjadi tidak hanya antara Bitcoin dan Emas, tetapi juga antara Bitcoin dan pasar saham Amerika Serikat. Indeks saham AS terus mencetak rekor, seolah tidak terpengaruh oleh ancaman inflasi yang sama. Lantas, mengapa Bitcoin tertinggal?
McMillin menjelaskan bahwa ada perbedaan fase siklus pasar yang sedang terjadi. Pasar saham saat ini dinilai sedang berada dalam fase late-cycle melt-up. Ini adalah fase di mana harga aset terus naik tajam di akhir siklus ekonomi, seringkali didorong oleh euforia investor dan likuiditas yang masih tersisa, meskipun fundamental ekonomi mulai menunjukkan tanda-tanda perlambatan.
Di sisi lain, Bitcoin sedang memasuki fase yang disebut mid-cycle repair atau perbaikan pertengahan siklus. Bitcoin masih dalam proses "penyembuhan" dari guncangan likuidasi besar-besaran yang terjadi pada 10 Oktober lalu. Selain itu, pasar kripto sedang mengalami proses deleveraging (pengurangan utang/leverage) pasca peluncuran ETF Bitcoin Spot. Peluncuran ETF memang membawa arus dana segar, namun juga mengubah struktur pasar menjadi lebih terikat dengan dinamika keuangan tradisional, yang kini sedang berhati-hati.
Analisis On-Chain: Sinyal Kapitulasi Investor Jangka Pendek
Untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi di balik layar jaringan Bitcoin, kita perlu melihat data on-chain. Data ini merekam aktivitas transaksi di blockchain dan seringkali memberikan gambaran yang lebih jujur daripada sekadar pergerakan harga di bursa.
Data on-chain saat ini menunjukkan adanya peningkatan suplai Bitcoin yang berada dalam kondisi rugi (supply in loss). Sebagian besar suplai yang merugi ini dipegang oleh investor jangka pendek (Short-Term Holders). Dalam psikologi pasar siklus kripto, ini adalah indikasi kuat dari sebuah kapitulasi.
Kapitulasi terjadi ketika investor yang membeli di harga tinggi akhirnya menyerah dan menjual aset mereka dalam keadaan rugi karena tidak kuat menahan tekanan harga atau ketidakpastian. Meskipun terdengar negatif, bagi para analis senior, fenomena ini justru dianggap lazim dan bahkan diperlukan. Kapitulasi membersihkan pasar dari "tangan-tangan lemah" (weak hands) dan memindahkan aset ke "tangan-tangan kuat" (strong hands) atau investor jangka panjang yang memiliki keyakinan tinggi. Ini biasanya terjadi pada fase pertengahan siklus sebelum tren bullish (kenaikan harga) yang sebenarnya terbentuk kembali.
Menanti Keputusan 10 Desember: Volatilitas di Depan Mata
Semua mata pelaku pasar kini tertuju pada tanggal 10 Desember, saat The Fed dijadwalkan mengumumkan keputusan suku bunganya. Spekulasi di pasar derivatif semakin memanas menjelang tanggal keramat tersebut. Para trader mengambil posisi long (beli) dan short (jual) dengan leverage tinggi, berharap mendapatkan keuntungan dari volatilitas pengumuman tersebut.
Data dari CoinGlass mencatat angka yang mengkhawatirkan sekaligus menarik: lebih dari US$6 miliar posisi Bitcoin berpotensi terkena likuidasi. Likuidasi sebesar ini bisa terjadi apabila harga bergerak agresif ke salah satu arah, baik naik tajam maupun turun tajam, setelah pengumuman The Fed. Ini menciptakan semacam "bom waktu" volatilitas yang bisa meledak kapan saja.
Saat artikel ini ditulis, Bitcoin diperdagangkan di kisaran US$92.000, mengalami penurunan sekitar 1,3% dalam 24 jam terakhir menurut data CoinMarketCap. Angka ini menunjukkan bahwa pasar sedang wait and see, menunggu kejelasan arah kebijakan moneter AS sebelum berani mengambil langkah besar.
Kesimpulan: Pemisahan Tren Hanyalah Sementara?
Meskipun kinerja Bitcoin saat ini terlihat tertinggal jauh dibandingkan kilau emas, perak, dan indeks saham AS, banyak pakar tetap optimis terhadap prospek jangka panjang aset kripto terbesar ini. Ryan McMillin menilai bahwa pemisahan tren (decoupling) antara Bitcoin dan aset makro lainnya ini bersifat sementara.
Faktor likuiditas global adalah kuncinya. Sejarah membuktikan bahwa Bitcoin adalah aset yang sangat sensitif terhadap likuiditas dolar AS. Ketika The Fed akhirnya mulai melonggarkan kebijakan moneternya secara nyata—bukan karena panik, tetapi karena inflasi terkendali—likuiditas global akan kembali membanjiri pasar.
Saat order book Bitcoin kembali menguat dan kepercayaan investor pulih pasca-kapitulasi, performa aset kripto ini diprediksi akan kembali mengikuti, bahkan mungkin melampaui, arah pasar yang lebih luas. Bagi investor yang jeli, fase stagnasi dan koreksi saat ini mungkin justru dilihat sebagai peluang akumulasi sebelum badai ketidakpastian makroekonomi berlalu dan siklus bull run kembali mengambil alih kendali.
Disclaimer: Artikel ini bertujuan untuk informasi dan edukasi, bukan merupakan saran investasi keuangan. Selalu lakukan riset mandiri (DYOR) sebelum mengambil keputusan investasi.

Komentar