Market Loading...

Revisi UU P2SK & Ancaman PHK Kripto

 


Industri aset kripto di Indonesia saat ini sedang berada di persimpangan jalan yang sangat krusial. Di tengah fluktuasi harga pasar global seperti pasangan perdagangan BTC/USD yang terus menjadi sorotan investor, perhatian pelaku industri dalam negeri justru tersedot pada dinamika regulasi yang memanas. Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah menggodok revisi Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Regulasi ini menandai babak baru di mana aset kripto akan diatur secara spesifik dalam kerangka sektor keuangan nasional yang ketat di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), beralih dari pengawasan Bappebti sebelumnya.

Perubahan regulator ini bukan sekadar pergantian instansi pengawas, melainkan pergeseran paradigma mendasar tentang bagaimana aset digital dipandang oleh negara. Jika sebelumnya kripto dianggap sebagai komoditas, kini ia masuk dalam ranah aset keuangan digital yang menuntut standar kepatuhan setara dengan instrumen perbankan atau pasar modal. Namun, niat baik untuk melegitimasi industri ini ternyata membawa serta draf aturan yang memicu polemik. Sejumlah ketentuan dalam draf terbaru revisi UU P2SK dinilai berpotensi menggeser peran vital puluhan Pedagang Aset Keuangan Digital (PAKD) atau yang dikenal sebagai crypto exchange.

Kekhawatiran utama muncul dari wacana pemusatan kendali perdagangan pada satu entitas bursa sentral. Bagi para pelaku industri yang telah membangun ekosistem ini selama lebih dari satu dekade, aturan tersebut dianggap sebagai ancaman eksistensial. Struktur desentralisasi yang menjadi nadi utama aset kripto seolah dipaksa masuk ke dalam kotak sentralisasi ala pasar saham konvensional. Hal ini memunculkan ketakutan akan hilangnya daya saing exchange lokal, yang pada akhirnya dapat memicu gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran di sektor teknologi finansial Indonesia.

Pasar bereaksi dengan sikap wait and see. Para investor ritel yang memegang aset seperti Bitcoin (BTC) kini tidak hanya memantau grafik teknikal, tetapi juga memantau berita dari Senayan. Ketidakpastian hukum ini, jika tidak dikelola dengan komunikasi yang baik antara regulator dan pelaku usaha, dikhawatirkan akan memicu arus keluar modal (capital flight) ke platform global yang tidak terjangkau oleh yurisdiksi Indonesia.

Perluasan Ruang Lingkup Aset Keuangan Digital

Salah satu poin paling krusial dalam rancangan Peraturan OJK (POJK) sebagai turunan dari UU P2SK ini adalah redefinisi mengenai ruang lingkup Aset Keuangan Digital (AKD). OJK menetapkan standar baru bahwa AKD kini mencakup dua kategori besar, yakni aset kripto murni dan aset keuangan digital lainnya, termasuk produk derivatif yang berbasis aset digital. Definisi ini memperluas jangkauan pengawasan regulator ke setiap sudut inovasi keuangan digital, memastikan tidak ada celah hukum yang bisa dimanfaatkan oleh produk-produk investasi ilegal.

Setiap AKD yang diperdagangkan di Pasar Aset Keuangan Digital Indonesia wajib memenuhi kriteria ketat yang ditetapkan regulator. Kriteria tersebut meliputi aspek teknis seperti diterbitkan, disimpan, ditransfer, atau diperdagangkan menggunakan teknologi buku besar terdistribusi (distributed ledger technology / blockchain), atau mengacu pada AKD lain sebagai aset dasar (underlying asset). Syarat ini dibuat untuk menjamin bahwa aset yang beredar memiliki kejelasan teknis dan keamanan yang dapat di audit.

Lebih jauh lagi, penyelenggara perdagangan AKD dilarang keras memperdagangkan aset digital yang tidak tercantum dalam "Daftar Aset Keuangan Digital" yang ditetapkan oleh Bursa. Ketentuan ini pada dasarnya menciptakan mekanisme whitelisting yang sangat ketat. Artinya, token-token baru yang sedang hype di pasar global namun belum terdaftar di bursa resmi Indonesia, tidak akan bisa diperdagangkan oleh investor lokal secara legal. Hal ini membatasi akses pasar namun di sisi lain memberikan filter keamanan bagi investor awam.

Tujuan utama dari ketentuan ketat ini disebut-sebut untuk menjaga integritas pasar dan perlindungan konsumen. OJK ingin memastikan bahwa hanya aset yang memiliki fundamental jelas dan memenuhi standar kelayakan yang dapat diakses oleh investor ritel Indonesia. Langkah ini berkaca pada banyaknya kasus penipuan (scam) dan jatuhnya nilai token yang tidak memiliki basis proyek yang jelas di masa lalu, yang seringkali merugikan masyarakat luas.

RUU P2SK dan Transformasi Ekosistem

Draf revisi UU P2SK memperkenalkan nomenklatur baru yaitu Lembaga Jasa Keuangan Aset Kripto (LJK Aset Kripto). Istilah ini merujuk pada lembaga yang menjalankan kegiatan sektor keuangan digital terkait aset kripto secara legal. Dengan ketentuan ini, aset kripto secara resmi ditempatkan sebagai bagian integral dari Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK). Posisi ini menegaskan bahwa kripto bukan lagi sekadar komoditas spekulatif, melainkan instrumen keuangan sah yang berada di bawah payung pengawasan OJK yang ketat.

Pasal 215A dalam draf tersebut mengatur struktur LJK Aset Kripto secara komprehensif. Struktur ini mencakup bursa aset kripto, lembaga kliring, kustodian (penyimpanan), pedagang (exchange), hingga pihak pendukung lain yang disetujui OJK. Seluruh entitas ini wajib memiliki izin usaha dan melaporkan setiap aktivitasnya. Ini adalah upaya negara untuk memiliki visibilitas penuh (end-to-end) terhadap aliran dana dan aset yang terjadi di dalam ekosistem kripto nasional.

Namun, pasal yang menjadi sorotan tajam dan memicu perdebatan adalah Pasal 215A ayat (4). Pasal ini menyatakan bahwa “seluruh aktivitas ITSK terkait aset keuangan digital, termasuk aset kripto, yang dilakukan wallet digital aset kripto, wajib ditransaksikan melalui dan dilaporkan kepada bursa.” Kalimat ini memiliki implikasi teknis yang sangat besar. Artinya, setiap transaksi aset kripto, baik jual maupun beli, wajib dilakukan lewat pintu bursa resmi atau setidaknya dilaporkan secara real-time ke bursa tersebut.

Praktik perdagangan di luar bursa yang diawasi (Over-The-Counter atau direct peer-to-peer tanpa pelaporan) tidak lagi diperbolehkan, kecuali tetap dicatatkan ke bursa. Draf ini juga tidak main-main dalam penegakan hukum, dengan menambahkan sanksi pidana bagi operasional tanpa izin atau pelanggaran kewajiban transaksi melalui bursa. Ancaman hukumannya mencapai 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp1 triliun, sebuah angka yang menunjukkan betapa seriusnya negara ingin menertibkan sektor ini.

Masa Transisi dan Pengakuan Negara

Dalam kerangka regulasi ini, Pasal 312A menetapkan masa transisi selama dua tahun. Waktu ini diberikan agar bursa resmi dapat menyiapkan infrastruktur untuk menyelenggarakan seluruh perdagangan aset digital, termasuk mempertemukan penawaran jual dan beli (matching engine). Setelah masa transisi tersebut berakhir, perdagangan kripto yang dilakukan di luar mekanisme bursa resmi tidak akan diperkenankan lagi. Ini adalah deadline yang membuat para pelaku usaha exchange lokal harus bergegas menyesuaikan model bisnis mereka.

Mengutip laporan dari CNBC, Wakil Ketua Komisi XI DPR, Mohammad Hekal, memberikan pandangannya mengenai urgensi aturan ini. Ia menyebut pengaturan dalam UU P2SK sebagai bentuk pengakuan negara yang sah terhadap industri kripto. Langkah ini juga sekaligus memperkuat peran OJK dalam mengawasi perkembangan pasar keuangan digital yang bergerak sangat cepat dan dinamis, agar tidak tertinggal dari perkembangan global namun tetap dalam koridor keamanan nasional.

“Nah ini bahkan sekarang kita sudah punya bursa kripto yang besar dan kita ada exchangers. Nah ini kita kasih landasan hukum karena kan ke depan ini ada banyak lagi. Bahkan kita lihat di Amerika sudah mengeluarkan seperti Genius Act,” kata Hekal. Pernyataan ini menyiratkan ambisi Indonesia untuk memiliki infrastruktur pasar kripto yang matang dan terlembaga, mirip dengan bagaimana pasar saham dikelola oleh Bursa Efek Indonesia (BEI), namun diterapkan pada aset digital.

Hekal menekankan bahwa regulasi ini bukan untuk mematikan industri, melainkan memberikan kepastian hukum. Dengan adanya landasan hukum yang kuat, diharapkan investor institusi yang lebih besar berani masuk ke pasar kripto Indonesia. Namun, niat baik legislator ini tampaknya belum sepenuhnya sejalan dengan realitas teknis dan bisnis yang dihadapi oleh para pengusaha crypto exchange di lapangan, yang merasa model bisnis mereka terancam diamputasi.

Kekhawatiran Pelaku Industri: Sentralisasi vs Desentralisasi

Meskipun RUU P2SK bertujuan memberi kepastian hukum, pelaku industri menilai penguatan peran bursa dalam draf revisi berpotensi mengubah total struktur bisnis kripto di Indonesia ke arah yang tidak lazim dalam dunia kripto global. Kekhawatiran terutama muncul terkait interpretasi Pasal 215C dan Pasal 312A. Kedua pasal ini dianggap dapat memusatkan seluruh perdagangan di bawah kendali satu bursa, menjadikan exchange (pedagang) hanya sebagai perantara atau broker semata, bukan lagi penyelenggara pasar.

Dalam wawancara bersama CNBC, Direktur Utama Sentra Bitwewe Indonesia, Hamdi Hassyarbaini, menyoroti ambiguitas aturan ini. Ia mengatakan pasal terkait hubungan kerja antara bursa dan PAKD masih membuka banyak interpretasi liar. “Kalau saya baca itu masih multiinterpretation, pasal ini memang harus dibahas secara seksama dan direspons dengan hati-hati,” tegasnya. Ketidakjelasan ini membuat pelaku usaha kesulitan menyusun rencana bisnis jangka panjang.

Hamdi menjelaskan tiga kemungkinan skenario yang bisa terjadi dari aturan ini. Skenario pertama, bursa hanya memperdagangkan aset yang melakukan Initial Coin Offering (ICO) di Indonesia. Skenario kedua, seluruh aset kripto (termasuk Bitcoin, Ethereum, dll) wajib diperdagangkan di bursa sentral. Skenario ketiga, seluruh transaksi berlangsung langsung di bursa tanpa peran exchange sebagai penengah. Menurut Hamdi, ketiga skenario tersebut sama-sama berdampak negatif karena menghilangkan potensi pendapatan PAKD secara signifikan.

“Tiga-tiga interpretasi ini akan mengurangi bahkan menghilangkan potensi pendapatan dari para pedagang,” ujarnya. Jika pendapatan utama dari trading fee diambil alih oleh bursa atau dibagi dengan porsi yang memberatkan, maka margin keuntungan exchange lokal akan tergerus habis. Hal ini akan membuat bisnis crypto exchange di Indonesia menjadi tidak menarik lagi bagi investor dan pengembang teknologi.

Ancaman PHK dan Deindustrialisasi Kripto Lokal

Dampak ekonomi dari regulasi ini diprediksi akan sangat serius bagi tenaga kerja di sektor teknologi. CEO Indodax, William Sutanto, dalam sebuah pernyataan tegas mengingatkan bahwa aturan tersebut dapat menghapus fungsi utama pedagang kripto yang selama ini menjadi tulang punggung operasional perusahaan. Sebagai salah satu pelopor industri kripto di Indonesia, peringatan dari Indodax tentu bukan isapan jempol belaka.

“Apabila tidak diperbolehkan lagi menjalankan fungsi tersebut, maka kami harus mengubah total model bisnis yang telah dijalankan selama lebih dari 11 tahun. Dampaknya akan sangat signifikan terhadap pendapatan dan stabilitas perusahaan,” jelas William. Perubahan model bisnis dari exchange penuh menjadi sekadar broker akan membuat banyak divisi di dalam perusahaan menjadi tidak relevan lagi, terutama divisi teknis yang mengurus order book dan likuiditas.

Ia menegaskan bahwa restrukturisasi besar mungkin tidak terhindarkan demi efisiensi. “Jika memang diharuskan, maka PHK mungkin tidak bisa dihindari,” kata William. Ini menjadi sinyal bahaya bagi ribuan talenta digital Indonesia yang bekerja di sektor ini. Mulai dari developer, customer service, hingga tim kepatuhan, posisi mereka terancam jika perusahaan tempat mereka bekerja kehilangan sumber pendapatan utamanya.

Pernyataan tersebut selaras dengan pandangan CEO Triv, Gabriel Rey. Ia menilai sentralisasi perdagangan di satu bursa akan memukul struktur operasional exchange lokal hingga ke akarnya. “Saya yakin terjadi gelombang PHK di semua exchange,” ujarnya. Rey menekankan bahwa dampaknya tak hanya pada satu atau dua perusahaan besar, tetapi merata ke seluruh ekosistem pedagang aset kripto yang terdaftar di Indonesia. Ini bisa menjadi kemunduran bagi ekonomi digital nasional.

Risiko Sistemik: Single Point of Failure

Gabriel Rey juga menyoroti aspek teknis yang lebih dalam, yakni risiko hilangnya fungsi PAKD sebagai pengelola sistem perdagangan. Jika seluruh transaksi harus mengikuti satu bursa yang mengontrol order book secara terpusat, maka exchange kehilangan peran inti mereka. Dalam dunia kripto yang beroperasi 24/7 tanpa henti, membebankan seluruh beban transaksi nasional pada satu sistem bursa sentral adalah pertaruhan infrastruktur yang sangat berisiko.

Selain potensi PHK, Rey menyoroti risiko hilangnya peluang arbitrase bagi investor. Arbitrase adalah kegiatan mengambil keuntungan dari perbedaan harga aset di pasar yang berbeda. “Kalau ini dihilangkan, maka peluang para investor untuk melakukan arbitrase semakin mengecil,” jelasnya. Pasar yang sehat biasanya memiliki banyak venue perdagangan yang saling berkompetisi memberikan harga terbaik, bukan satu harga tunggal yang ditentukan pusat.

Lebih mengerikan lagi adalah ancaman single point of failure. “Ini akan menjadi single point of failure… kalau ini satu mati, satu Indonesia semua enggak bisa berdagang kripto,” peringatan Rey. Jika server bursa pusat mengalami down atau diretas, maka seluruh aktivitas perdagangan kripto di negara ini akan lumpuh total. Berbeda dengan sistem saat ini, di mana jika satu exchange gangguan, investor masih bisa berdagang di exchange lain.

Ia juga menilai bahwa pemusatan seluruh perdagangan pada satu entitas dapat memperbesar risiko sistemik. Sentralisasi data dan dana dalam jumlah masif di satu titik akan menjadi target utama (honeypot) bagi para peretas global. Hal ini justru bertentangan dengan semangat desentralisasi yang dibawa oleh teknologi blockchain itu sendiri, yang bertujuan menyebar risiko, bukan memusatkannya.

Harapan untuk Dialog Konstruktif

Di tengah ketegangan ini, suara moderat datang dari CEO Tokocrypto, Calvin Kizana. Ia berharap ruang dialog antara pemerintah dan pelaku industri tetap terbuka lebar selama proses revisi undang-undang ini berjalan. Calvin menilai penguatan regulasi adalah hal yang positif dan perlu disikapi secara konstruktif, namun tujuannya haruslah menjaga keseimbangan antara inovasi teknologi dan perlindungan terhadap keberlangsungan industri lokal.

“Kami memahami bahwa revisi undang-undang ini dimaksudkan untuk memperkuat sektor keuangan nasional, termasuk industri aset digital. Namun, penting bagi semua pihak untuk memastikan agar kebijakan ini tetap mendorong inovasi dan tidak mematikan pelaku lokal yang sudah berkontribusi membangun ekosistem kripto di Indonesia,” ujar Calvin. Pendekatan yang kolaboratif diperlukan agar aturan yang lahir tidak menjadi bumerang yang mematikan industri yang sedang tumbuh.

Per Oktober lalu, tercatat sedikitnya 25 exchange kripto telah memperoleh izin sebagai PAKD dari OJK. Angka ini menunjukkan betapa suburnya ekosistem kripto di Indonesia. Jika revisi UU P2SK ini disahkan tanpa mengakomodasi masukan pelaku usaha, nasib ke-25 perusahaan tersebut beserta ribuan karyawannya akan berada di ujung tanduk.

Masyarakat dan investor kini menanti hasil akhir dari pembahasan di DPR. Apakah Indonesia akan berhasil menciptakan regulasi kripto yang aman namun tetap pro-inovasi, atau justru terjebak dalam over-regulasi yang mematikan pasar domestik? Jawabannya akan sangat menentukan masa depan ekonomi digital Indonesia dan posisi aset kripto seperti BTC/USD dalam portofolio investor tanah air.

Jangan Ketinggalan Sinyal & Update!

Gabung dengan komunitas kami untuk mendapatkan analisa teknikal harian, berita crypto terbaru, dan peluang airdrop langsung ke HP kamu.

Tulis Komentar

Komentar

Tutup Iklan [x]