Suang Sreang, seorang wanita berusia 27 tahun yang tengah hamil tua, kini harus menghadapi kenyataan pahit di tengah debu dan ketidakpastian. Dengan usia kandungan yang telah memasuki sembilan bulan, waktu persalinan yang semakin dekat seharusnya menjadi momen yang penuh sukacita dan persiapan yang matang. Namun, takdir berkata lain ketika konflik bersenjata meletus di dekat tempat tinggalnya. Suang Sreang kini dilingkupi kekhawatiran mendalam bahwa ia harus mempertaruhkan nyawanya dan bayinya dengan melahirkan di kamp pengungsian yang sangat sederhana, jauh dari fasilitas medis yang memadai.
Ia hanyalah satu dari ribuan wajah ketakutan yang terpaksa melarikan diri dari pertempuran sengit antara pasukan Kamboja dan Thailand di sepanjang perbatasan yang disengketakan. Warga negara Kamboja tersebut termasuk di antara puluhan ribu warga sipil dari kedua belah pihak yang telah meninggalkan rumah mereka sejak bentrokan meletus pada hari Senin lalu. Pertempuran ini tercatat sebagai yang paling sengit dan mematikan sejak bentrokan lima hari yang sempat terjadi pada bulan Juli sebelumnya, memaksa warga sipil untuk memprioritaskan nyawa di atas harta benda.
Di tengah kekacauan suara tembakan artileri dan kepanikan massal, naluri keibuan Suang Sreang mengambil alih kesadarannya. "Ketika pertempuran dimulai, saya mengesampingkan kesulitan saya dan membawa anak-anak saya lalu melarikan diri dengan cepat," ungkap ibu tiga anak ini yang berasal dari komune Ou Beichoan, sebuah wilayah yang berbatasan langsung dengan provinsi Sakeo di Thailand. Tanpa memikirkan rasa sakit di perutnya atau kelelahan fisik akibat kehamilan, ia berlari demi menyelamatkan masa depan anak-anaknya dari zona bahaya.
Prioritas utamanya saat itu sangat sederhana namun fundamental: bertahan hidup. "Prioritas saya adalah menyelamatkan diri saya sendiri dan nyawa anak-anak saya. Saya bisa memikirkan hal-hal lain nanti," katanya dengan tatapan kosong namun tersirat ketegaran. Keputusan cepat itu harus dibayar mahal; ia menambahkan bahwa dia telah meninggalkan semua barang yang harus disiapkannya untuk bayi baru di rumah. Kini, ia tidak memiliki perlengkapan bayi, pakaian bersih, atau jaminan sterilitas yang sangat dibutuhkan oleh seorang bayi yang baru lahir.
Dampak Eskalasi Konflik di Perbatasan
Konflik perbatasan antara Kamboja dan Thailand bukanlah hal baru, namun eskalasi kali ini membawa dampak yang jauh lebih luas dan merusak bagi penduduk sipil. Kedua negara telah saling baku tembak menggunakan senjata berat, termasuk artileri dan roket, di beberapa titik strategis di sepanjang perbatasan mereka yang membentang sepanjang 817 kilometer (508 mil). Penggunaan senjata berat ini menandakan peningkatan intensitas konflik yang secara langsung mengancam desa-desa yang berada dalam jangkauan tembak, mengubah pemukiman yang damai menjadi zona perang dalam hitungan jam.
Permusuhan yang terjadi tidak hanya terbatas di wilayah daratan pegunungan, tetapi juga meluas hingga ke daerah pantai selama akhir pekan. Hal ini memperluas radius bahaya dan mempersulit jalur evakuasi bagi warga sipil yang terjebak. Retorika politik dari kedua belah pihak pun semakin memanas, menambah ketegangan di lapangan. Perdana Menteri Thailand, Charnvirakul, bahkan bersumpah untuk terus berjuang dengan pernyataan tegas, "sampai kita tidak lagi merasakan bahaya dan ancaman terhadap tanah dan rakyat kita". Pernyataan ini mengindikasikan bahwa gencatan senjata mungkin belum akan terjadi dalam waktu dekat, memperpanjang penderitaan para pengungsi.
Pemerintah Kamboja, merespons krisis ini, telah bergerak cepat dengan mendirikan lebih dari 100 pusat evakuasi yang tersebar di enam provinsi terdampak. Pusat-pusat ini kini menampung gelombang manusia yang luar biasa besar, diperkirakan mencapai sekitar 130.000 orang. Angka ini mencerminkan besarnya skala perpindahan penduduk yang terjadi secara mendadak. Infrastruktur darurat dipaksa bekerja melampaui kapasitasnya untuk menampung aliran pengungsi yang terus berdatangan setiap jamnya, membawa serta trauma dan kebutuhan mendesak.
Namun, kecepatan pengungsian yang masif ini telah melumpuhkan sistem logistik bantuan yang ada. Janes Imanuel Ginting, direktur nasional kelompok bantuan World Vision, mengungkapkan keprihatinannya yang mendalam mengenai situasi di lapangan. Ia menyatakan bahwa skala dan kecepatan pengungsian telah menyebabkan kekurangan makanan, tempat tinggal, air minum, dan fasilitas sanitasi yang parah. Dalam situasi bencana kemanusiaan seperti ini, kekurangan air bersih dan sanitasi adalah ancaman kedua yang paling mematikan setelah peluru, terutama bagi kelompok rentan seperti lansia, anak-anak, dan ibu hamil seperti Suang Sreang.
Kondisi Fasilitas Kesehatan dan Sanitasi di Kamp
Kondisi di dalam kamp pengungsian jauh dari kata layak, apalagi untuk prosedur medis yang membutuhkan standar kebersihan tinggi seperti persalinan. Fasilitas sanitasi yang minim membuat risiko infeksi bagi ibu dan bayi baru lahir meningkat drastis. Ketiadaan air bersih yang cukup menyulitkan para pengungsi untuk menjaga kebersihan diri dasar, yang merupakan pertahanan pertama melawan wabah penyakit di tempat penampungan massal. Bagi seorang ibu yang akan melahirkan, lingkungan seperti ini adalah mimpi buruk yang menjadi kenyataan.
Di kamp yang panas dan penuh sesak tempat Suang Sreang dan keluarganya berlindung, privasi dan kenyamanan adalah kemewahan yang tidak tersedia. Mereka hanya berlindung di bawah terpal plastik yang menyerap panas matahari di siang hari dan tidak cukup menahan dingin atau hujan di malam hari. Kondisi fisik yang tidak nyaman ini diperparah dengan kondisi psikologis yang tertekan. Suang Sreang mengatakan dia masih bisa mendengar suara pertempuran yang menggelegar di kejauhan ketika dia mencoba memejamkan mata untuk beristirahat. Trauma suara ledakan terus menghantuinya, meningkatkan tingkat stres yang berbahaya bagi kehamilannya.
Kekacauan yang terjadi juga membuat sistem rujukan medis menjadi tidak jelas. "Semua orang terus berlari ke tempat yang berbeda-beda jadi saya benar-benar tidak tahu harus pergi ke mana untuk melahirkan bayi ini," katanya dengan nada putus asa. Ketidaktahuan ini adalah cerminan dari rusaknya jalur komunikasi dan informasi di tengah krisis. Tidak ada dokter kandungan yang siaga, tidak ada bidan yang bisa dipanggil sewaktu-waktu, dan tidak ada ambulans yang siap mengantar ke rumah sakit terdekat yang mungkin juga sudah penuh sesak dengan korban luka akibat perang.
Ketakutan terbesar Suang Sreang bukan hanya tentang rasa sakit melahirkan, melainkan keselamatan bayinya di lingkungan yang tidak steril tersebut. "Aku khawatir aku mungkin harus melahirkan bayi di sini, di dalam tenda," ujarnya. Melahirkan di atas tanah beralaskan tikar seadanya, tanpa peralatan medis steril, gunting tali pusar yang layak, atau obat-obatan penghenti pendarahan, membawa risiko kematian ibu dan bayi yang sangat tinggi. Ini adalah potret buram dari dampak perang yang seringkali luput dari berita utama tentang strategi militer atau manuver politik.
Solidaritas di Tengah Keterbatasan
Meskipun situasi tampak suram, semangat kemanusiaan tetap menyala di antara puing-puing konflik. Upaya bantuan terus mengalir meskipun menghadapi tantangan logistik yang berat. Gubernur provinsi Oddar Meanchey, Mean Chanyada, tempat beberapa kamp pengungsian terbesar berada, melaporkan adanya aliran bantuan dari berbagai pihak. Donasi termasuk makanan pokok datang dari perusahaan swasta lokal dan badan-badan amal yang bergerak cepat merespons panggilan kemanusiaan. Ini menunjukkan solidaritas yang kuat di antara sesama warga yang ingin meringankan beban saudara-saudara mereka yang terdampak.
Mean Chanyada menegaskan pentingnya persatuan dalam menghadapi masa-masa sulit ini. "Kita saling mendukung dalam situasi sulit ini," katanya, mencoba menyuntikkan semangat kepada para pengungsi dan relawan yang kelelahan. Bantuan pangan memang krusial untuk mencegah kelaparan, namun kebutuhan spesifik seperti susu formula, popok, dan perlengkapan medis untuk ibu hamil masih sering kali kurang memadai dalam paket bantuan standar darurat. Koordinasi antara pemerintah lokal dan lembaga internasional menjadi kunci untuk menutup celah kekurangan ini.
Selain bantuan fisik, harapan akan perdamaian menjadi doa bersama yang dipanjatkan setiap hari di kamp-kamp pengungsian. "Dan berharap suatu hari nanti masalah ini akan terselesaikan. Kita membutuhkan perdamaian," tambah Gubernur Chanyada. Pernyataan ini mewakili suara hati ratusan ribu pengungsi yang hanya menginginkan satu hal: kembali ke rumah mereka dengan selamat. Bagi mereka, sengketa wilayah adalah urusan politik tingkat tinggi, namun dampaknya menghancurkan kehidupan sehari-hari mereka yang sederhana.
Perdamaian bukan sekadar kata indah, melainkan syarat mutlak bagi Suang Sreang untuk bisa memberikan awal kehidupan yang layak bagi anaknya yang belum lahir. Tanpa perdamaian, ia dan ribuan ibu lainnya akan terus hidup dalam ketakutan, melahirkan generasi penerus di tengah debu pengungsian, dan membesarkan anak-anak dengan bayang-bayang trauma perang. Solidaritas masyarakat membantu mereka bertahan hari ini, namun hanya solusi politik dan perdamaian permanen yang bisa menjamin masa depan mereka.
Apa Risiko Melahirkan di Kamp Pengungsian?
Pertanyaan: Mengapa melahirkan di kamp pengungsian dianggap sangat berbahaya bagi ibu dan bayi?
Melahirkan di kamp pengungsian membawa risiko medis yang sangat tinggi karena tidak adanya lingkungan yang steril. Risiko utama adalah sepsis atau infeksi darah yang bisa terjadi akibat penggunaan alat yang tidak bersih saat memotong tali pusar atau menangani luka persalinan. Selain itu, jika terjadi komplikasi persalinan seperti pendarahan pasca-melahirkan (postpartum hemorrhage) atau posisi bayi sungsang, tidak ada peralatan bedah atau stok darah yang tersedia untuk menyelamatkan nyawa ibu. Ketiadaan tenaga medis profesional juga berarti tidak ada yang bisa melakukan resusitasi jika bayi lahir tidak bernapas. Faktor stres yang tinggi, dehidrasi, dan malnutrisi pada ibu juga dapat menyebabkan bayi lahir prematur atau dengan berat badan lahir rendah, yang semakin memperkecil peluang bertahan hidup di lingkungan yang keras tersebut.
Kesimpulan
Kisah Suang Sreang adalah pengingat yang menohok bahwa di balik angka statistik korban perang dan strategi militer, terdapat tragedi kemanusiaan yang nyata. Seorang ibu hamil yang harus berlari menyelamatkan diri dari gempuran artileri, meninggalkan perlengkapan bayinya, dan kini menghadapi ketakutan melahirkan di tenda pengungsian, adalah simbol dari kerentanan warga sipil dalam konflik bersenjata. Perbatasan yang disengketakan sepanjang 817 kilometer itu kini bukan sekadar garis di peta, melainkan garis pemisah antara kehidupan normal dan penderitaan massal.
Upaya pemerintah Kamboja dan bantuan dari organisasi seperti World Vision serta donatur lokal memang telah memberikan sedikit kelegaan berupa tempat berteduh dan makanan. Namun, seperti yang diungkapkan oleh Gubernur Mean Chanyada dan dirasakan oleh 130.000 pengungsi lainnya, kebutuhan yang paling mendesak sesungguhnya adalah perdamaian. Bantuan logistik dapat memperpanjang napas, tetapi hanya penghentian konflik yang dapat mengembalikan martabat dan keamanan mereka.
Bagi Suang Sreang, waktu terus berjalan seiring detak jantung bayi dalam kandungannya. Ia mewakili harapan yang rapuh di tengah kekerasan yang keras. Dunia perlu melihat bahwa setiap keputusan politik untuk melanjutkan pertempuran memiliki konsekuensi langsung terhadap nyawa seorang ibu dan bayi yang tidak berdosa. Harapan terbesar saat ini adalah agar senjata segera diam, sehingga tangisan pertama bayi Suang Sreang nanti disambut dengan kedamaian, bukan dengan suara ledakan bom.

Komentar