Jakarta – Bank Sentral Amerika Serikat, atau yang lebih dikenal sebagai The Federal Reserve (The Fed), kembali mengambil langkah signifikan dalam kebijakan moneternya. Lembaga keuangan paling berpengaruh di dunia ini secara resmi telah menurunkan suku bunga acuan untuk ketiga kalinya pada tahun ini. Keputusan ini diambil di tengah dinamika ekonomi yang kompleks dan tekanan politik yang kian memanas, menciptakan lanskap ketidakpastian mengenai arah kebijakan di masa mendatang.
Langkah pemotongan ini tidak diambil dengan suara bulat, mencerminkan adanya pergeseran pandangan yang tajam di antara para pembuat kebijakan. Di satu sisi, ada kebutuhan mendesak untuk menopang pasar tenaga kerja yang mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Di sisi lain, hantu inflasi masih membayangi, membuat setiap keputusan pelonggaran moneter menjadi pertaruhan yang berisiko. Situasi ini menempatkan Ketua The Fed, Jerome Powell, dalam posisi yang sangat menantang, di mana ia harus menavigasi kapal ekonomi AS melalui selat sempit antara resesi dan inflasi yang tak terkendali.
Keputusan terbaru ini menempatkan target suku bunga pinjaman utama The Fed dalam kisaran 3,50% hingga 3,75%. Angka ini menandai level terendah dalam tiga tahun terakhir, sebuah tonggak sejarah yang seharusnya memberikan sinyal positif bagi pasar. Namun, alih-alih sorak sorai kepastian, pasar justru merespons dengan kewaspadaan. Para analis dan pelaku ekonomi menyadari bahwa pemotongan ini disertai dengan catatan kaki yang tebal: perpecahan internal di tubuh The Fed semakin nyata, dan proyeksi pemotongan tambahan di bulan-bulan mendatang menjadi semakin kabur.
Dilema Kebijakan Moneter di Tengah Ekonomi yang Terbelah
Bank sentral Amerika Serikat mengumumkan pada hari Rabu bahwa mereka menurunkan suku bunga sebesar 0,25 poin persentase. Langkah ini diambil sebagai respons terhadap data ekonomi yang masuk, namun diwarnai oleh perbedaan pendapat yang tajam mengenai bagaimana menyeimbangkan dua mandat utama The Fed: stabilitas harga dan lapangan kerja yang maksimal. Para pembuat kebijakan kini berdiri di persimpangan jalan, berbeda pendapat tentang prioritas mana yang harus didahulukan di tengah kondisi pasar kerja yang melemah dan harga-harga yang kembali merangkak naik.
Proyeksi ekonomi terbaru yang dirilis oleh The Fed bersamaan dengan pengumuman suku bunga menunjukkan gambaran yang berhati-hati. Data tersebut mengindikasikan bahwa hanya satu kali penurunan suku bunga lagi yang diproyeksikan akan terjadi pada tahun depan. Namun, proyeksi ini bukanlah janji yang terukir di atas batu; data ekonomi baru yang akan masuk dalam beberapa bulan ke depan memiliki potensi besar untuk mengubah haluan ini secara drastis. Fleksibilitas menjadi kunci dalam narasi The Fed saat ini, meskipun bagi pelaku pasar, fleksibilitas sering kali diterjemahkan sebagai ketidakpastian.
Ketua The Fed, Jerome Powell, dalam konferensi persnya menekankan pentingnya kesabaran dan kehati-hatian. Ia menyatakan bahwa para bankir sentral membutuhkan waktu untuk mengamati dan menganalisis bagaimana dampak kumulatif dari tiga pemotongan suku bunga yang telah dilakukan tahun ini meresap ke dalam perekonomian AS. Efek kebijakan moneter sering kali memiliki lag atau jeda waktu, dan Powell ingin memastikan bahwa langkah selanjutnya didasarkan pada bukti empiris yang kuat. "Kami berada dalam posisi yang baik untuk menunggu dan melihat bagaimana perekonomian berkembang," ujar Powell kepada para wartawan, sebuah pernyataan yang menyiratkan mode wait-and-see yang kuat menjelang pertemuan berikutnya di bulan Januari.
Keretakan dalam Konsensus: Analisis Perbedaan Pendapat
Apa yang membuat keputusan hari Rabu ini begitu menarik—dan sekaligus mengkhawatirkan bagi sebagian pengamat—adalah hilangnya konsensus bulat yang biasanya menjadi ciri khas keputusan The Fed di masa-masa kritis. Keputusan untuk menurunkan suku bunga bukanlah keputusan bulat, sebuah fakta yang menyoroti melebarnya jurang perbedaan pendapat di antara para bankir sentral mengenai prospek ekonomi AS. Tiga pejabat tinggi The Fed memilih untuk memisahkan diri dari mayoritas dan secara resmi menyatakan ketidaksetujuan atau dissent mereka dalam pemungutan suara.
Rincian dari perbedaan pendapat ini sangat instruktif untuk memahami peta konflik internal The Fed. Di satu sisi spektrum, terdapat Stephen Miran, yang saat ini sedang cuti dari jabatannya sebagai ketua Dewan Penasihat Ekonomi Trump. Miran mengambil posisi yang lebih agresif atau dovish, memilih pemotongan yang lebih besar, yaitu sebesar 0,5 poin persentase. Pandangan ini mencerminkan kekhawatiran bahwa The Fed mungkin bertindak terlalu lambat dalam mencegah perlambatan ekonomi yang lebih dalam, dan stimulus yang lebih besar diperlukan segera.
Di sisi spektrum yang berlawanan, terdapat Austan Goolsbee, presiden Bank Federal Reserve Chicago, dan Jeffrey Schmid, presiden Bank Federal Reserve Kansas City. Keduanya memberikan suara untuk mempertahankan suku bunga tetap stabil, menolak pemotongan 0,25% yang disetujui mayoritas. Posisi ini, yang lebih hawkish, didasarkan pada kekhawatiran bahwa inflasi belum sepenuhnya terkendali dan penurunan suku bunga yang prematur dapat memicu kembali kenaikan harga. Adanya perbedaan pendapat dari dua arah yang berlawanan—menginginkan pemotongan lebih besar versus tidak ada pemotongan sama sekali—menunjukkan betapa membingungkannya data ekonomi saat ini bagi para ahli sekalipun.
Jerome Powell sendiri mengakui situasi yang tidak biasa ini. Ketika ditanya mengenai perbedaan pendapat di antara para pembuat kebijakan, ia menyatakan bahwa adalah hal yang "tidak biasa" untuk memiliki "ketegangan yang terus-menerus" antara dua mandat utama The Fed. "Dan ketika Anda melakukannya, inilah yang Anda lihat," katanya, merujuk pada perpecahan suara tersebut. Namun, Powell berusaha meredakan kekhawatiran dengan menggambarkan perdebatan internal tersebut sebagai diskusi yang bijaksana dan penuh hormat, menegaskan bahwa pada akhirnya mereka berkumpul untuk mengambil keputusan kolektif.
Tekanan Politik dan Data Ekonomi yang Membingungkan?
Salah satu pertanyaan terbesar yang sering muncul di benak publik dan pelaku pasar adalah seberapa besar pengaruh tekanan politik, khususnya dari Presiden Donald Trump, terhadap keputusan independen The Fed. Donald Trump, yang dikenal vokal dalam mengomentari kebijakan moneter, kembali menyuarakan ketidakpuasannya pasca pengumuman hari Rabu. Meskipun suku bunga telah diturunkan, Trump berpendapat bahwa langkah tersebut masih jauh dari cukup untuk memacu ekonomi Amerika ke potensi maksimalnya.
Dalam sebuah diskusi meja bundar di Gedung Putih, Trump menyatakan bahwa pemotongan suku bunga The Fed seharusnya bisa "setidaknya dua kali lipat" dari apa yang diputuskan. "Tarif kita seharusnya jauh lebih rendah," tegasnya, menambahkan ambisinya bahwa AS seharusnya memiliki tarif bunga terendah di dunia. Komentar ini menambah lapisan kompleksitas bagi Powell dan rekan-rekannya. Colleen McHugh, konsultan untuk platform investasi Wealthify, menyoroti dilema ini kepada BBC, menyatakan, "Saya pikir dilema di Amerika Serikat saat ini adalah adanya banyak tekanan politik pada ketua Fed dan komite di sana untuk menurunkan suku bunga."
Menjawab kekhawatiran mengenai indepedensi, Powell harus berhadapan dengan data yang tidak lengkap. Pemadaman data selama penutupan pemerintahan (government shutdown) AS terlama sepanjang sejarah, yang baru berakhir pada bulan November, telah membuat para pembuat kebijakan sebagian "terbang buta" mengenai kondisi perekonomian terkini. Ketiadaan data real-time selama periode kritis tersebut membuat analisis tren menjadi lebih sulit. Namun, dari data yang tersedia, kekhawatiran tentang melambatnya pasar kerja terus menjadi narasi yang lebih dominan dibandingkan risiko inflasi, setidaknya untuk jangka pendek.
Tingkat pengangguran tercatat naik dari 4,3% menjadi 4,4% pada bulan September, menurut data Departemen Tenaga Kerja yang dirilis bulan lalu setelah sempat tertunda. Kenaikan ini, meskipun terlihat kecil secara angka, merupakan sinyal peringatan bagi bank sentral. Pemotongan suku bunga secara teoritis bertujuan untuk merangsang pasar kerja dengan menciptakan biaya pinjaman yang lebih rendah bagi bisnis, sehingga mendorong ekspansi dan perekrutan. Namun, inflasi masih membandel di atas target 2%. Pada bulan September, inflasi menyentuh angka 3% untuk pertama kalinya sejak Januari. Meskipun tarif tampaknya mendorong beberapa harga konsumen, analis menilai angka inflasi yang lebih rendah dari perkiraan baru-baru ini memberikan ruang bagi The Fed untuk sedikit beralih fokus pada penyelamatan pasar tenaga kerja.
Mekanisme ini dijelaskan sebagai upaya menyeimbangkan risiko. Jika The Fed terlalu fokus pada inflasi dan menahan suku bunga tinggi, pengangguran bisa melonjak tak terkendali. Sebaliknya, jika mereka memangkas bunga terlalu agresif demi lapangan kerja, inflasi bisa kembali meroket. "Anda tidak bisa melakukan dua hal sekaligus," ujar Powell, menggambarkan betapa sulitnya situasi yang dihadapi. Analis memprediksi bahwa kejelasan lebih lanjut mungkin akan didapat minggu depan dengan dirilisnya data resmi pasar tenaga kerja dan inflasi untuk bulan November. Data yang akan datang ini berpotensi mengubah pandangan para pembuat kebijakan secara drastis.
Bayang-Bayang Suksesi: Siapa Pengganti Powell?
Ketidakpastian kebijakan The Fed tidak hanya bersumber dari data ekonomi, tetapi juga dari masa depan kepemimpinan lembaga itu sendiri. Masa jabatan Jerome Powell sebagai ketua The Fed akan berakhir pada Mei mendatang, dan upaya Presiden Trump untuk mencari penggantinya telah menjadi topik hangat yang menambah volatilitas pasar. Spekulasi mengenai siapa yang akan memegang kendali kebijakan moneter AS selanjutnya menciptakan lapisan ketidakpastian baru mengenai arah jangka panjang The Fed.
Trump diperkirakan bisa mengumumkan pilihannya paling cepat dalam beberapa minggu ke depan. Nama yang paling santer disebut sebagai kandidat terdepan adalah Kevin Hassett, seorang ekonom konservatif senior yang juga penasihat ekonomi utama Trump. Hassett memiliki rekam jejak sebagai pendukung setia kebijakan ekonomi Trump. Ia pernah menjabat sebagai ketua Dewan Penasihat Ekonomi Gedung Putih selama masa jabatan pertama Trump dan kini memimpin Dewan Ekonomi Nasional.
Profil Hassett memicu perdebatan mengenai independensi bank sentral di masa depan. Ia dikenal kerap membela kebijakan ekonomi presiden, bahkan sampai meremehkan data yang menunjukkan tanda-tanda kelemahan ekonomi AS dan memperkuat tuduhan bias di Biro Statistik Tenaga Kerja. Dukungannya terhadap cara Trump menangani The Fed menimbulkan pertanyaan serius dari para analis: apakah Hassett akan bertindak secara independen berdasarkan data ekonomi, ataukah ia akan tunduk pada keinginan politik Gedung Putih?
Selain Hassett, nama-nama lain juga masuk dalam bursa calon ketua The Fed, termasuk ekonom Kevin Warsh, Gubernur The Fed saat ini Christopher Waller, dan bahkan Menteri Keuangan Scott Bessent. Thomas Hoenig, peneliti senior terkemuka di Mercatus Center, mengatakan kepada BBC bahwa Trump "masih mempertimbangkan pilihannya, dan dia mencari seseorang yang sejalan dengan cara berpikirnya." Namun, Hoenig memperingatkan bahwa para kandidat "harus menunjukkan bahwa mereka akan independen, atau pasar akan menjadi sangat gelisah - dan itu akan menciptakan lebih banyak volatilitas". Ketika Powell ditanya apakah proses pencarian penggantinya ini mengganggu pekerjaannya, ia menjawab dengan tegas: "Tidak".
Kesimpulan: Menanti Arah Angin di Januari
Sebagai penutup, keputusan The Fed untuk menurunkan suku bunga sebesar 0,25% adalah langkah taktis dalam pertempuran strategis yang panjang melawan ketidakstabilan ekonomi. Meskipun memberikan sedikit kelegaan bagi peminjam, perpecahan internal di tubuh komite pembuat kebijakan dan tekanan eksternal dari ranah politik menunjukkan bahwa jalan ke depan masih berkabut. Pasar kini mengalihkan pandangannya ke pertemuan bulan Januari dan rilis data ekonomi November sebagai penunjuk arah selanjutnya.
Bagi investor dan pelaku bisnis, pesan utamanya adalah kewaspadaan. Dengan inflasi yang masih di atas target dan pasar tenaga kerja yang mulai rapuh, volatilitas kemungkinan akan tetap tinggi. Kemampuan The Fed untuk menavigasi transisi kepemimpinan dan data ekonomi yang bertentangan akan menjadi ujian sesungguhnya bagi ketahanan ekonomi Amerika Serikat di tahun mendatang. Apakah kita akan melihat pendaratan yang mulus (soft landing) atau guncangan ekonomi baru, waktu dan data yang akan menjawabnya.

Komentar